Archive for Desember 20th, 2010

Mungkinkah-menjadi-perawat-yang-baik?

Oleh : Masfuri, november 2008

Menjadi profesional ádalah dambaan setiap perawat. Tapi.., samakah perawat yang baik dengan yang profesional? Kalau tidak sama, dimanakah letak perbedaaanya? Sebagai perawat saya sering bertanya dalam hati, apakah saya telah menjalankan peran saya dengan baik? Baik menurut siapa? Saya?! Ahk itu terlalu subjektif dan naif sekali. Mungkinkan ada orang yang bisa menampilkan hal terbaik untuk semua, setiap saat, setiap tempat? Baik menurut teman sekerja, baik menurut mahasiswa, baik menurut pasien dan baik menurut profesi kesehatan lain, katakanlah dokter. Ahh, bahagía rasanya bila ada orang yang bisa menjelaskan hal tersebut untuk saya. Tapi, bila memang ada yang bisa menjelaskan, apakah kemudian saya bisa menjalankanya? Wah, mencari penjelasan saja sulit, apalagi menjalankanya!

Tahun 1997 adalah tahun awal saya praktek sebagai sarjana perawat. Saya merawat 6-8 pasien bersama oleh 1-2 orang perawat SPK. Satu kisah menarik diawal-awal perkerjaan saya adalah merawat pasien katakanlah Bapak Sero (samaran). Dia dirawat dengan serosis hepatis dengan perdarahan saluran cerna atas (varises esophagus?). Dokter memberikan instruksi untuk melakukan monitoring tanda vital tiap 4 jam, irigasi lambung tiap 6 jam dan puasa, disamping beberapa pemeriksaan dan obat. Saya mengerti betul alasan dokter memberikan instruksi tersebut. Tanda-tanda vital (TTV) seperti tekanan darah, nadi dan suhu serta pernafasan saya monitor betul, bahkan tiap 2 jam. Karena saat saya perhatikan kondisi pasien tidak stabil, NGT kadang keluar darah, kadang tidak. Bila terjadi perdarahan internal yang hebat, akan terdeksi dengan monitoring TTV yang baik. Tingkat kesadaran dan kognitif pasien juga fluktuatif. Mungkinkah itu karena level bilirubin yang tinggi? Atau hasil pencernaan darah akibat pecahnya varises di dalam saluran pencernaan yang menghasilkan sesuatu yang meracuni otak? Akh, rasanya walupun dokter tidak pernah mengintruksikan saya untuk monitoring tingkat kesadaran, tidak salahnya saya melakukan itu (ensepalopati hepatik?).

Pasien tampak kurus, warna kulit agak kehijauan dan kering dengan perut sedikit membuncit. Oh ya, mungkin albumin juga telah rendah, ”Bisa asites juga nih pikirku.” Maka saya kembali ke ruang perawat untuk mengambil meteran dan mengukur lingkar perut Pak Sero. Bukankah hanya satu paket monitoring, sedikit tambahan beberapa detik akan sangat membantu analisa perkembangan kondisi pasien. Siapa tahu juga bermanfaat bagi dokter nantinya.

Jam 12 siang adalah saatnya mengur tanda vital dan melakukan irigasi lambung. Tempat cuci tangan adalah tujuan pertama saya setelah melakukan persiapan troli untuk irigasi lambung ”Selamat siang Pak sero, bagaimana kondisi Bapak siang ini? Dengan mata sedikit terbuka dan kepala bergerak ke arah saya berdiri, ia menjawab dengan lirih ”Saya haus pak, tenggorokan saya kering.” Akh benar sekali, sejak masuk rumah sakit atau bahkan sejak dari rumah mungkin ia tidak minum dan makan, tapi karena status perdarahan lambungnya, dokter memuasakanya, apa yang harus saya lakukan agar tidak memperparah kondisi perdarahan lambung tapi sedikit menambah kenyamanan pasien ya? Akh, saya ingat, saya pernah membaca buku bahwa memberikan minum satu dua sendok, mengolesi bibir dengan madu dan menutup mulut dan hidung dengan kasa basah akan sangat membantu mengatasi perasaan haus dan tenggorokan kering pada pasien yang dipuasakan, namun tetap aman (untuk kasus ini). ”Bapak Sero, lambung Bapak masih terjadi perdarahan, Bapak masih harus puasa. Saya hanya akan berikan 2 sampai 3 sendok air saja ya Pak, untuk membasahi kerongkangan Bapak? Saya langung bergerak ke arah pegangan tempat tidur untuk mengatur posisi tidur pasien menjadi setengah duduk (Semi Fowler’s) dilanjutkan dengan memberikan minum satu sendok perlahan lahan hingga sendok ketiga selama 2 menit. Saya tetap berpikir bahwa kesadaran pada kondisi penyakit seperti ini tidak stabil, bila kesadaran menurun dan kemampuan menelan tidak baik, diberikan minum tidak dengan perlahan-lahan, tetes demi tetes, kan bisa aspirasi ujarku.

Tanda vital saya ukur dengan baik dan seksama, saya catat dalam lembaran monitoring data pasien. Irigasi lambung saya mulai dengan memasukan air aqua waktu itu (Kalau ada, sebaiknya sih NaCl 09%) tanpa es. Karena menurut buku medical surgical dengan editor Lewis, kalau tidak salah baca, es akan membuat imaturitas sistem pembekuan darah pada area perdarahan dan malah dapat tidak mengoptimalkan pembekuan yang diharapkan. Saya masukan 50 cc dengan perlahan sesuai gaya grafitasi, tidak saya inject dengan spuit. Memang cara ini lama, tapi lebih aman untuk menghindari perdarahan baru akibat robekan pembuluh darah atau cedera mukosa yang sangat rawan akibat tingginya tekanan vena porta yang menyebabkan munculnya varises di sekitar saluran cerna dan rapuhnya mukosa akibat penurunan status nutrisi sistemik (hipo albuminemia yang sering terjadi pada pasien serosis) dan puasa. Beberapa saat saya kemudian setelah sekitar 100 cc air dimasukan, dengan saya tahan sedikit air masih di ujung NGT saya alirkan NGT kebawah. Dengan cara ini saya harapkan air di ujung NGT akan menciptakan tekanan negatif yang menarik udara dan air di ujung dalam NGT dan lambung sehingga air lebih mudah keluar tanpa di aspirasi (hee… ingat juga prinsip-prinsip hukum fisika SMA). Untuk mencari posisi NGT yang optimal, beberapa posisi pasien di rubah dengan perlahan, karena posisi NGT di dalam lambung sulit di perkirakan tanpa rontgent thoraks. Akhirnya, air masuk sekitar 450 cc dan keluar sekitar 400 cc juga dengan warna merah darah dan sedikit stosel. Akh, perdarahan masih aktif sekali. Saya catat semua hasil yang di dapat dalam lembaran yang tersedia. Melihat kondisi kulit, imobilisasi dan stataus nutrisi, saya rasa skor resiko dekubitus-nya tinggi nih! Beberapa tetes ’minyak goreng’ saya oleskan sambil dipijat sebentar di punggung dan daerah tonjolan tulang pasien untuk mengurangi resiko iritasi akibat kulit yang kering dan penekanan yang lama, tidak lupa juga spresi tempat tidurnya dirapikan. Kemudian saya ubah posisi pasien, sedikit miring kearah yang berbeda dengan disokong beberapa bantal dan handuk pasien untuk mencegah dekubitus. Pada saat memiringkan pasien, saya katakan kepada Pak Sero, jangan mengedan, biarkan saya yang menggerakan tubuhnya, karena pengedanan dapat memicu perdarahan lambung yang baru. Penghalang tempat tidur saya pasang, dan kliningan saya letakan di dekat tangan pasien. Saya katakan ”Bila Pak Sero ingin sesuatu, bunyikan kliningan ya pak, nanti saya datang, tidak perlu teriak.” Karena, teriakan berarti pengedanan yang dapat membahayakan kondisi varises esophagus/gaster pasien saat itu.

Catatan perkembangan keperawatan saya buat, rencana spesifik untuk Bapak Sero saya tulis dalam lembaran keperawatan. Saya harap catatan ini akan dibaca oleh teman perawat saya dan dilaksanan oleh mereka dengan cara saya melakukanya, bukan dengan cara mereka. Karena saya tahu bahwa teman saya jarang yang suka membaca buku, jadi ilmu mereka adalah ilmu jaman dulu yang kadang sudah tidak update lagi. Akh, mencatat dengan singkat dan jelas instruksi keperawatan ternyata tidak mudah. Setengah jam lebih saya harus mencatat point point penting yang harus catat agar teman saya memahami apa yang saya maksud. Menulis mulai dari diagnosa keperawatan, tujuan dari tindakan dan rencana spesifik dari tindakan yang harus dilakukan untuk Bapak Sero adalah aktifitas pikir yang sangat melelahkan. Namun apa daya, dari siapa lagi teman perawat dan mahasiswa akan belajar kalau tidak ada yang memulai.

Teman satu shift sudah pulang semua, perawat sore telah mulai bekerja. Inilah saatnya untuk menyampaikan rencana keperawatan Pak Sero agar dilaksanan oleh teman saya. Penjelasan itu memakan waktu seperempat jam lebih sedikit. Teman yang menerima penjelasan agak sedikit bingung, tapi terlihat antusias. Saat itu jarang antar perawat menyampaikan progress report dan rencana keperawatan pasien dengan detail. Pasien lain saya jelaskan tidak terlalu mendetail, karena kondisinya relatif lebih baik dari Pak Sero, namun semuanya tercatat dengan jelas. Semoga kelebihan satu seperempat jam dari dinas saya dapat bermanfaat untuk pasien dan perawat lain serta dicatat sebagai ’infestasi’ untuk kehidupan kelak. Diruang ganti, saya bertanya di dalam hati, betulkah memang pasien harus dipuasakan? Sampai kapan? Apa keuntungan dan kelebihan bila dipuasakan? Akh.., nyari info dimana ya?

Melihat fenomena diatas, apakah dokter happy dengan apa yang saya lakukan, apakah data yang saya berikan bermanfaat, bukankah nanti malah dianggap sok pintar? Bukankah perawat lain beranggapan, cara kerja gaya saya lambat, terlalu banyak berpikir dan mengurangi waktu istirahat mereka? Bahkan bisa saja saya dianggap pendatang baru yang sedang mencari muka? Tapi, perlukah saya mengeksplorasi perasaan atau ’prasangka’ mereka terhadap saya yang belum tentu benar. Bisakah mereka atau saya sendiri jujur mengoreksi hal-hal penting dari sisi profesi atau dari sisi humanisme yang perlu ditumbuhkan dari seorang perawat? Akh, kenapa aku terjebak dalam ’prasangka’ tidak produktif seperti ini, perasaan seperti ini nanti malah jadi hypersensitive dan kontra produktif.

Saya tidak tahu apakah apa yang saya lakukan sudah dianggap baik oleh pasien, teman perawat dan dokter. Tapi…, saya hanya mencoba melakukan yang terbaik, apa yang saat itu saya anggap tepat. Opps.., tapi…, benarkah pikiran seperti itu, tidakkah penting mengeksplorasi suatu peristiwa dari sudut pandang yang ’berbeda’? Bukankah di dunia ini tidak ada sekedar hitam-putih? Ohh.., betapa naifnya saya, ternyata perbuatan baik itu belum tentu akan dipersepsikan ’baik’ oleh orang lain. Terus.., apakah kemudian saya harus mengekor? Akankah kita mengaminkan sesuatu yang tidak ada rasionalnya? Perlukah kita takut untuk berbuat yang lebih baik? Bukankah dunia keperawatan perlu perubahan, perubahan yang konstruktif? (bersambung…)

Sumber : http://masfuri.wordpress.com/2008/11/03/sebuah-refleksi-mungkinkah-menjadi-perawat-yang-baik/